Euthanasia Hukum Perspektif Islam



KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunianya  berupa kemudahan dan kelancaran dalam menyelesaikan makalah agama Islam tentang euthanasia perspektif hokum dan hukumpositif ini.
Makalah ini dibuat berdasarkan informasi yang kami peroleh dari hasil diskusi yang telah kami lakukan serta diperoleh dari sumber internet.
Kami sangat menyadari dalam penyusunan makalah ini terdapat banyak kekurangan. Namun berkata kesabaran pembimbing dan dukungan dari berbagai pihak, maka makalah ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna sempurnanya makalah ini.
Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi semjua pihak, baik penyusun maupun pembaca.




penyusun



DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR 1
DAFTAR ISI 2
PENDAHULUAN 3
RUMUSAN MASALAH 4
PEMBAHASAN 5
KESIMPULAN 18
DAFTAR PUSTAKA 19

PENDAHULUAN
  1. Latar belakang masalah


Kematian, pada umumnya dianggap sebagai suatu hal yang sangat menakutkan, namun akan dialami oleh setiap orang. Kematian merupakan suatu proses yang tidak dapat ditunda, namun kebanyakan orang tidak mau kematian itu datang dengan segera. Kebanyakan orang berharap agar kematian tidak muncul dengan tiba-tiba. Orang bukan hanya saja ngeri menghadapi kematian itu sendiri, namun jauh lebih dari itu, orang ngeri menghadapi keadaan setelah kematian terjadi
Kematian yang di idamkan oleh pada penderita, sudah barang tentu, adalah kematian yang normal pada umumnya, jauh dari rasa sakit dan mengerikan. Kematian inilah yang dalam istilah medis disebut euthanasia yang dewasa ini diartikan dengan pembunuhan terhadap pasien yang tipis harapannya untuk sembuh. Euthanasia sebenarnya bukanlah merupakan suatu persoalan yang baru. Bahkan euthanasia telah ada sejak zaman Yunani purba.














RUMUSAN MASALAH
  1. Pengertian Eutanasia
  2. Bentuk – bentuk euthanasia
  3. Euthanasia dalam persfektif dalam ilmu kedokteran
  4. Euthanasia dalam persfektif dalam islam dan fiqh






















PEMBAHASAN
  1. Pengertian  Euthanasia
Secara bahasa, euthanasia berasal dari bahasa Yunani, eu yang berarti “baik”, dan thanatos, yang berarti “kematian”. Sementara dalam fiqh Islam, euthanasia ini diistilahkan dengan qatl ar-rahmah (membunuh karena kasihan) atau taisir al-maut (mempermudah kematian)1.
Adapun secara istilah, maka euthanasia adalah praktik memudahkan kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit -karena kasih sayang-, dengan tujuan meringankan penderitaan si sakit, baik dengan cara positif (aktif) maupun negatif (pasif).
Euthanasia biasa dilakukan dengan alasan bahwa pengobatan yang diberikan kepada pasien hanya akan memperpanjang penderitaannya. Ditambah bahwa pengobatan itu sendiri tidak akan mengurangi penyakit yang diderita yang memang sudah parah. Atau menurut perhitungan medis, penyakit itu sudah tidak mungkin lagi bisa sembuh atau si pasien sudah tidak akan bertahan lama. Atau bisa juga dengan alasan bahwa pihak keluarga pasien tidak mempunyai kemampuan finansial untuk membayar pengobatannya sementara walaupun pengobatan dilanjutkan juga tidak akan membawa hasil positif.2
Bentuk – bentuk Euthanasia
Dalam definisi di atas sudah diisyaratkan bahwa euthanasia mempunyai 2 bentuk:



    1. Utomo, Setiawan Budi. Fiqih Aktual Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer. Jakarta: Gema Insani Press. 2003:177


    1. Utomo, Setiawan Budi. Fiqih Aktual Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer. Jakarta: Gema Insani Press. 2003:176
A. Hukum Euthanasia Aktif (Positif)
Euthanasia aktif dengan semua bentuknya adalah haram dan merupakan dosa besar. Hal itu karena euthanasia aktif hakikatnya merupakan pembunuhan dengan sangaja3. Dan pembunuhan dengan sengaja atau terencana adalah haram, apapun alasan yang melandasinya. Baik itu dengan alasan kasih sayang, permintaan si pasien sendiri, permintaan keluarga pasien, atau alasan lainnya yang jelas tidak diterima oleh syariat.
Allah Ta’ala berfirman yang artinya:
ولا تقتلو اا لنفس التى حرم ا لله ا لا با لحققلي
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.” (QS. Al-An’am 151)4
Dan kami rasa dalil-dalil akan haramnya pembunuhan dengan sengaja adalah hal yang sudah masyhur, karenanya tidak perlu disebutkan di sini. Adapun jika itu atas permintaan si pasien, maka si pasien itu telah menanggung dosa yang sangat besar karena dia telah membunuh dirinya atau menyuruh orang lain membunuh dirinya. Sementara dokter dan pihak keluarga yang rela dengan hal itu semuanya mendapatkan dosa karena telah meridhai bahkan bekerja sama dalam perbuatan dosa.Allah Ta’ala berfirman yang artinya:
و لا تقتلوا ا نفسكم قلى ا ن ا لله كا ن بكم ر خيما
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS An-Nisaa` : 29)5


    1. Hanafiah, M.Jusuf & Amir, Amri, Etika Kedokteran & Hukum Kesehatan, Jakarta: EGC,2007, hal 119


    1. Al Qur’an Al Karim dan Terjemahannya Departemen Agama RI, Semarang: PT. Karya Toha Putra, hal 214


    1. Al Qur’an Al Karim dan Terjemahannya Departemen Agama RI, Semarang: PT. Karya Toha Putra, hal 122
Ini hukumnya di akhirat. Adapun hukum pidana di dunia, maka hukumnya dikembalikan kepada keluarga di pasien. Dan dalam hal ini keluarga pasien mempunyai 3 opsi:
a. Memaafkan si dokter dan membebaskannya dari semua tuntutan dan ganti rugi.
bMeminta ganti rugi (diyat) kepada si dokter. Dan diyat untuk pembunuhan dengan sengaja adalah 100 ekor onta atau yang senilai dengannya berupa emas dan perak atau 1000 dinar atau 12.000 dirham menurut pendapat mayoritas ulama. Sementara 1 dinar setara dengan 4,25 gr emas.6
c. Menuntut si dokter dengan hukuman mati (qishash). Hanya saja perlu diingatkan bahwa masalah qishash mempunyai beberapa hukum dan masalah tersendiri, yang rinciannya bisa dilihat dalam buku-buku fiqhi.
Ketiga opsi ini terambil dari firman Allah Ta’ala yang artinya:
يا ا يها ا لذ ين ا منو ا كتب عليكم ا لقصا ص فى ا لقتلقلي الحر با لحر وا لعبد با لعبد وا لانثى با لا نثىقلي فمن عفى له من ا خيه شئ فا تبا ع با لمعروف واداءا ليه با حسا نقلي ذ لك تخفيف من ر بكم و ر حمة قلي فمن اعتد ى بعد ذ لك فله عذ ا ب ا ليم
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema’afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema’afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma’af) membayar (diat) kepada yang memberi ma’af dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih.” (QS Al-Baqarah : 178)7


    1. Al-Maliki, Abdurrahman. Nizham Al-‘Uqubat. Beirut : Darul Ummah.1990: hal 113


    1. Al Qur’an Al Karim dan Terjemahannya Departemen Agama RI, Semarang: PT. Karya Toha Putra, hal 43
B. Hukum Euthanasia Pasif (Negatif)
Jika kita memperhatikan praktik euthanasia pasif ini, maka kita bisa mengetahui bahwa sebenarnya hakikat dari euthanasia pasif ini adalah tindakan menghentikan pengobatan, karena diyakini (atau dugaan besar) pengobatan itu sudah tidak bermanfaat dan hanya akan menambah kesusahan bagi pasien. Karenanya, hukum euthanasia pasif ini kembalinya kepada hukum berobat itu sendiri. Apakah berobat itu hukumnya wajib, sunnah, atau mubah? Jika kita katakan berobat hukumnya wajib, maka berarti menghentikan pengobatan (euthanasia pasif) hukumnya adalah haram. Jika kita katakan berobat itu hukumnya sunnah, maka maka berarti menghentikan pengobatan (euthanasia pasif) hukumnya adalah makruh. Dan jika kita katakan berobat itu hukumnya mubah (boleh), maka maka berarti menghentikan pengobatan (euthanasia pasif) hukumnya adalah mubah. Maka jika berobat hukumnya sunnah, maka berarti menghentikan pengobatan adalah hal yang mubah. Karenanya euthanasia pasif ini hukumnya adalah tidak diharamkan jika memang sudah dipastikan (atau dugaan besar) si pasien sudah tidak bisa sembuh dan hidupnya dia hanya akan menambah penderitaannya. Jika si dokter melakukannya maka insya Allah dia tidak mendapatkan hukuman di akhirat. Hanya saja untuk pelaksanaan euthanasia pasif ini tetap disyaratkan harus adanya izin dari pasien, atau walinya, atau atau washi-nya (washi adalah orang yang ditunjuk untuk mengawasi dan mengurus pasien). Jika pasien tidak mempunyai wali atau washi, maka yang dimintai izin adalah pemerintah.8








    1. Zallum, Abdul Qadim. Beberapa Problem Kontemporer dalam Pandangan Islam :

    1. Kloning, Transplantasi Organ Tubuh, Abortus, Bayi Tabung, Penggunaan Organ

    1. Tubuh Buatan, Definisi Hidup dan Mati. Bangil : Al Izzah:1998: hal 68 & 69
Euthanasia dalam ilmu kedokteran
Euthanasia adalah dengan sengaja tidak melakukan sesuatu untuk memperpanjang hidup seseorang pasien atau sengaja melakukan sesuatu  untuk memperpendek hidup atau mengakhiri hidup seorang pasien, dan ini dilakukan untuk kepentingan pasien sendiri9. Dan berikut adalah contoh-contoh tersebut;
• Seseorang yang sedang menderita kangker ganas atau sakit yang mematikan, yang sebenarnya dokter sudah tahu bahwa seseorang tersebut tidak akan hidup lama lagi. Kemudian dokter memberinya obat dengan takaran tinggi (overdosis) yang sekiranya dapat menghilangkan rasa sakitnya, tetapi justru menghentikan pernapasannya sekaligus. Seperti yang dialami oleh Nyonya Again yang mengalami koma selama tiga bulan dan dalam hidupnya membutuhkan alat bantu pernafasan. Sehingga dia akan bisa melakukan pernafasan dengan otomatis dengan bantuan alat pernafasan. Dan jika alat pernafasan tersebut di cabut otomatis jantungnya akan behenti memompakan darahnya keseluruh tubuh, maka tanpa alat tersebut pasien tidak akan bisa hidup. Namun, ada yang menganggap bahwa orang sakit seperti ini sebagai “orang mati” yang tidak mampu melakukan aktivitas. Maka memberhentikan alat pernapasan itu sebagai cara yang positif untuk memudahkan proses kematiannya. Hal tersebut adalah contoh dari yang namanya euthanasia positif yang dilakukan secara aktif oleh medis. Berbeda dengan euthanasia negative yang dalam proses tersebut tidak dilakukan tindakan secara aktif (medis bersikap pasif) oleh seorang medis dan contohnya sebagai berikut:
  1. Penderita kanker yang sudah kritis, orang sakit yang sudah dalam keadaan koma, disebabkan benturan pada bagian kepalanya atau terkena semacam penyakit pada otak yang tidak ada harapan untuk sembuh. Atau orang yang terkena serangan penyakit paru-paru yang jika tidak diobati (padahal masih ada kemungkinan untuk diobati) akan dapat mematikan penderita. Dalam hal ini, jika pengobatan terhadapnya dihentikan akan dapat mempercepat kematiannya.



    1. Hanafiah, M.Jusuf & Amir, Amri, Etika Kedokteran & Hukum Kesehatan, Jakarta: EGC,2007, hal 118
2. Seorang anak yang kondisinya sangat buruk karena menderita kelumpuhan tulang belakang atau kelumpuhan otak. Dalam keadaan demikian ia dapat saja dibiarkan (tanpa diberi pengobatan) apabila terserang penyakit paru-paru atau sejenis penyakit otak, yang mungkin akan dapat membawa kematian anak tersebut.
Dari contoh tersebut, “penghentian pengobatan” merupakan salah satu bentuk eutanasia negatif. Menurut gambaran umum, anak-anak yang menderita penyakit seperti itu tidak berumur panjang, maka menghentikan pengobatan dan mempermudah kematian secara pasif (eutanasia negatif) itu mencegah perpanjangan penderitaan si anak yang sakit atau kedua orang tuanya. Dalam KODEKI (Kede etik kedokteran Indonesia) pasal 2 dijelaskan bahwa; “seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi tertinggi”. Jelasnya bahwa seorang dokter dalam melakukan kegiatan kedikterannya sebagai seorang profesi dikter harus sesuai dengan ilmu kedokteran mutakhir, hukum dan agama. KODEKI pasal 7d juga menjelaskan bahwa “setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup insani”. Artinya dalam setiap tindakan dokter harus bertujuan untuk memelihara kesehatan dan kebahagiaaan manusia. Jadi dalam menjalankan prifesinya seorang dokter tidak boleh melakukan;Menggugurkan kandungan (Abortus Provocatus), mengakhiri kehidupan seorang pasien yang menurut ilmu dan pengetahuan tidak mungkin akan sembuh lagi (euthanasia)10.Mengenai euthanasia, dapat digunakan dalam tiga arti ;

    1. Berpindahnya ke alam baka dengan tenang dan aman tanpa penderitaan, buat yang beriman dengan nama Allah di bibir,

    1. 2. Waktu hidup akan berakhir (sakaratul maut) penderitaan pasien diperingan dengan memberikan obat penenang

    1. 3. Mengakhiri penderitaan dari seorang sakit dengan sengaja atas permintaan pasien sendiri dan keluarganya .






    1. Hanafiah, M.Jusuf & Amir, Amri, Etika Kedokteran & Hukum Kesehatan, Jakarta: EGC,2007, hal 126
Adapun unsur-unsur dalam pengertian euthanasia dalam pengertian diatas adalah:

1.Berbuat seauatu atau tidak berbuat sesuatu
2. Mengakhiri hidup, mempercepat kematian, atau tidak memperpanjang hidup pasien,
3. Pasien menderita suatu penyakit yang sulit untuk disembuhkan,
4. Atas permintaan pasien dan keluarganya,
5. Demi kepentingan pasien dan keluarganya.
Jadi, dalam pandangan Kedokteran secara umum, euthanasia tidak diperbolehkan.

Euthanasia persfektif dalam islam  dan fiqh
Dalam pandangan hukum Islam, hanya memperbolehkan kematian secara alamiah. Dalam resolusi no 5 Pertemuan ke-3 Dewan Akademi Fikih (1407 H / 1986 M) , disebutkan bahwa kaidah hukum Islam “la dharar wa la dhirar” membenarkan pembiaran kematian secara alamiah. Walaupun petugas medis wajib menyediakan pelayanan medis sepanjang waktu, tetapi tindakan medis dapat dihentikan jika menurut pendapatnya tipis atau nihil harapan bagi pasien untuk sembuh. Dr. Abdulaziz Sachedina (University of Virginia, tanpa tahun) juga mengatakan bahwa hukum Islam tidak melarang penghentian tindakan yang sia-sia dan disproporsional dengan persetujuan anggota keluarga terdekat dan dengan pertimbangan professional medis. Pengobatan itu hukumnya mustahab atau wajib apabila pasien dapat diharapkan sembuh. Sedangkan apabila tidak dapat diharapkan sembuh, apalagi setelah memperoleh pengobatan lama dan penyakitnya tetap tidak ada perubahan, maka melanjutkan pengobatan menjadi tidak wajib .
Kasus Terri Schiavo beberapa waktu yang lalu menimbulkan debat dari segi etik dan medikolegal, yaitu karena apabila artificial nutrition and hydration itu dianggap bersifat “extraordinary” sehingga penghentiannya dianggap sebagai tindakan pasif, namun keinginan matinya disangsikan telah dinyatakan oleh si pasien sendiri – karena ia berada dalam persistent vegetative state – sedangkan keluarganya berbeda pendapat (suami berbeda dengan orang tua).Sedangkan untuk euthanasia (aktif) Islam dengan nyata melarang, baik dilakukan terhadap kehidupan orang lain maupun kehidupan diri sendiri, meskipun dengan alasan untuk mengakhiri penderitaan pasien, sebagaimana diatur dalam Al Quran:
و لا تقتلو اا لنفس ا لتى حرم ا لله الا با لحق قلي
Dan janganlah membunuh jiwa yang diharamkan Allah melainkan dengan suatu (alasan) yang benar”(QS Al-Isra,17:33)11
و لا تقتلوا ا نفسكم قلى ا ن ا لله كا ن بكم ر خيما
“Janganlah membunuh dirimu sendiri, karena sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu” (QS An-Nisa,4:29)12
لا يكلف ا لله نفسا ا لا و سعها قلي
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya” (QS Al-Baqarah, 2:286)13 .

Dalam fiqh :
Euthanasia (qatl ar-rahma atau taisir al-maut) ialah tindakan memudahkan kematian atau mengakhiri hidup seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasihan untuk meringankan penderitaan si sakit14.

  1. Al Qur’an Al Karim dan Terjemahannya Departemen Agama RI, Semarang: PT. Karya Toha Putra, hal 429

  2. Al Qur’an Al Karim dan Terjemahannya Departemen Agama RI, Semarang: PT. Karya Toha Putra, hal 122

  3. Al Qur’an Al Karim dan Terjemahannya Departemen Agama RI, Semarang: PT. Karya Toha Putra, hal 72

  4. Hasan,M.Ali. Masail Fiqhiyah Al- Haditsah Pada Masalah - Masalah Kontemporer Hukum Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada:1995: hal 145
Tindakan ini dilakukan terhadap penderita penyakit yang tidak mempunyai harapan sembuh (hopeless). Eutanasia dapat dilakukan dengan memberikan obat-obatan tertentu atau dengan menghentikan pengobatan maupun alat Bantu hidup yang sedang dilakukan. Kata euthanasia berasal dari bahasa Yunani yang artinya baik dan thanatos yang berarti kematian15.
Pengertian “mempercepat kematian” dalam terminologi Islam tidak dikenal. Dalam ajaran Islam, yang menentukan kematian adalah Allah:
لكل ا مة ا خل ا ذ ا خا ء اخلهم فلا يستاءخر و ن سا عة و لا يستقد مون
“Tiap – tiap umat mempunyai ajal, apabila telah datang ajal mereka, maka mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak (pula) mendahulukan (nya).” (QS.Yunus, 10: 49)16.
Dengan demikian euthanasia sebenarnya merupakan pembunuhan, yang diminta atau mendapat persetujuan dari pihak pasien dan keluarganya.Dalam praktik kedokteran dikenal dua macam euthanasia yaitu, euthanasia pasif dan euthanasia aktif. Yang dimaksud dengan euthanasia aktif ialah tindakan dokter mempercepat kematian pasien dengan memberikan suntikan ke dalam tubuh pasien tersebut17.
Suntikan dilakukan pada saat keadaan penyakit pasien sudah sangat parah atau sudah sampai pada stadium akhir, yang menurut perkiraan/perhitungan medis sudah tidak mungkin lagi bisa sembuh atau bertahan lama. Alasan yang lazim dikemukakan dokter ialah bahwa pengobatan yang diberikan hanya akan memperpanjang penderitaan pasien, tidak mengurangi keadaan sakitnya yang memang sudah parah.


  1. Hanafiah, M.Jusuf & Amir, Amri, Etika Kedokteran & Hukum Kesehatan, Jakarta: EGC,2007, hal 118

  2. Al Qur’an Al Karim dan Terjemahannya Departemen Agama RI, Semarang: PT. Karya Toha Putra, hal 314

  3. Ibid., hal. 39-40
Yang dimaksud dengan euthanasia pasif adalah tindakan dokter berupa penghentian pengobatan pasien yang menderita sakit keras, yang secara medis sudah tidak mungkin lagi dapat disembuhkan18. Penghentian pemberian obat ini berakibat mempercepat kematian pasien. Alasan yang lazim dikemukakan ialah karena keadaan ekonomi pasien yang terbatas, sementara  dana yang dibutuhkan untuk biaya pengobatan cukup tinggi, sedangkan fungsi pengobatan menurut perhitungan dokter sudah tidak efektif lagi.
Ada lagi upaya lain yang bisa digolongkan dalam euthanasia pasif, yaitu upaya dokter menghentikan pengobatan terhadap pasien yang menurut penelitian medis masih mungkin bisa sembuh. Umumnya alasannya adalah ketidakmampuan pasien dari segi ekonomi padahal biaya pengobatannya yang dibutuhkan sangat tinggi19.
Beberapa contoh kasus dalam hal ini di antaranya:
1. Seseorang yang kondisinya sangat kritis dan akut karena menderita kelumpuhan tulang belakang yang biasa menyebabkan kelumpuhan pada kedua kaki dan kehilangan kontrol pada kandung kencing dan usus besar.
2. Penderita penyakit ini senantiasa dalam kondisi lumpuh dan selalu membutuhkan bantuan khusus selama hidupnya. Atau penderita kelumpuhan otak yang menyebabkan keterbelakangan pikiran dan kelumpuhan badannya dengan studium beragam yang biasanya penderita penyakit ini akan lumpuh fisiknya dan otaknya serta selalu memerlukan bantuan khusus selama hidupnya. Dalam keadaan demikian ia dapat saja dibiarkan tanpa diberi pengobatan yang mungkin akan dapat membawa kematiannya.




  1. Imron Halimy, Euthanasia Cara Mati Terhormat Orang Modern, Solo: Ramadhanis, 1990, hal:39
  2. Hanafiah, M.Jusuf & Amir, Amri, Etika Kedokteran & Hukum Kesehatan, Jakarta: EGC,2007, hal 117

Dalam contoh tersebut, “penghentian pengobatan” merupakan salah satu bentuk eutanasia pasif. Menurut gambaran umum, para penderita penyakit seperti itu terutama anak-anak tidak berumur panjang, maka menghentikan pengobatan dan mempermudah kematian secara pasif itu mencegah perpanjangan penderitaan si anak atau kedua orang tuanya.
Beberapa contoh kasus ethanisia aktif diantaranya:
Seseorang menderita kanker ganas dengan rasa sakit yang luar biasa hingga penderita sering pingsan. dalam hal ini dokter yakin bahwa yang bersangkutan akan meningggal dunia. Kemudian dokter memberinya obat dengan takaran tinggi (overdosis) yang sekiranya dapat menghilangkan rasa sakitnya, tetapi menghentikan pernapasannya sekaligus20.Orang yang mengalami keadaan koma yang sangat lama, misalnya karena bagian otaknya terserang penyakit atau bagian kepalanya mengalami benturan yang sangat keras. Dalam keadaan demikian ia hanya mungkin dapat hidup dengan mempergunakan alat pernafasan, sedangkan dokter ahli berkeyakinan bahwa penderita tidak akan dapat disembuhkan. Alat pernafasan itulah yang memompa udara ke dalam paru-parunya dan menjadikannya dapat bernapas secara otomatis. Jika alat pernapasan tersebut dihentikan (dilepas), maka penderita sakit tidak mungkin dapat melanjutkan pernafasannya sebagai cara aktif memudahkan proses kematiannya. Dalam praktiknya, para dokter tidak mudah melakukan euthanasia ini, meskipun dari sudut kemanusiaan dibenarkan adanya euthanasia dan merupakan hak bagi pasien yang menderita sakit yang tidak dapat disembuhkan (sesuai dengan Deklarasi Lisboa 1981)21. Akan tetapi dokter tidak dibenarkan serta merta melakukan upaya aktif untuk memenuhi keinginan pasien atau keluarganya tersebut. Hal ini disebabkan oleh dua hal, pertama, karena adanya persoalan yang berkaitan dengan kode etik kedokteran, disatu pihak dokter dituntut untuk membantu meringankan penderitaan pasien, akan tetapi dipihak lain menghilangkan nyawa orang merupakan pelanggaran terhadap kode etik itu sendiri

  1. Utomo,Setiawan Budi. Fiqih Aktual Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer. Jakarta: Gema Insani Press. 2003: hal: 178

  2. Utomo,Setiawan Budi. Fiqih Aktual Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer. Jakarta: Gema Insani Press. 2003: hal: 178
Kedua, tindakan menghilangkan nyawa orang lain dalam perundng-undangan merupakan tindak pidana , yang secara hukum di Negara manapun, tidak dibenarkan oleh Undang-undang22.
Secara umum ajaran Islam diarahkan untuk menciptakan kemaslahatan hidup dan kehidupan manusia, sehingga aturannya diberikan secara lengkap, baik yang berkaitan dengan masalah keperdataan maupun pidana. Khusus yang berkaitan dengan keselamatan dan perihal hidup manusia, dalam hukum pidana Islam (jinayat) ditetapkan aturan yang ketat, seperti adanya hukuman qishash, hadd, dan diat.
Dalam Islam prinsipnya segala upaya atau perbuatan yang berakibat matinya seseorang, baik disengaja atau tidak sengaja, tidak dapat dibenarkan, kecuali dengan tiga alasan; sebagaimana disebutkan dalam hadits: “Tidak halal membunuh seorang muslim kecuali karena salah satu dari tiga alasan, yaitu: pezina mukhshan (sudah berkeluarga), maka ia harus dirajam (sampai mati); seseorang yang membunuh seorang muslim lainnya dengan sengaja, maka ia harus dibunuh juga. Dan seorang yang keluar dari Islam (murtad), kemudian memerangi Allah dan Rasulnya, maka ia harus dibunuh, disalib dan diasingkan dari tempat kediamannya” (HR Abu Dawud dan An-Nasa’i)
Selain alasan-alasan diatas, segala perbuatan yang berakibat kematian orang lain dimasukkan dalam kategori perbuatan ‘jarimah/tindak pidana’ (jinayat), yang mendapat sanksi hukum. Dengan demikian euthanasia karena termasuk salah satu dari jarimah dilarang oleh agama dan merupakan tindakan yang diancam dengan hukuman pidana. Dalil syari’ah yang menyatakan pelarangan terhadap pembunuhan antara lain Al-Qur’an surat:
و لا تقتلو اا لنفس ا لتى حرم ا لله الا با لحق قلي
Dan janganlah membunuh jiwa yang diharamkan Allah melainkan dengan suatu (alasan) yang benar” (Al-Isra’, 17 :33)


  1. Hanafiah, M.Jusuf & Amir, Amri, Etika Kedokteran & Hukum Kesehatan, Jakarta: EGC,2007, hal 117-121

و ما كا ن لمؤمت ا ن يقتل مؤ منا ا لا خطئا و من قتل مؤ منا خطئا فتحر ير ر قبة مؤ منة و د ية مسلمة ا لي ا هله الاا ن يصد قو ا قلي فا ن كا ن من قو م عد و لكم و هو مؤ من فتحر ير ر قبة مؤ منة قلي و ا ن كا ن من قو م بينكم و بينهم ميثا ق فد ية مسلمة ا لى ا هله وتحر ير ر قبة مؤ منة فمن لم يجد فصيا م شهر ين متتا بعين قلي تو بة من ا لله قلي و كا ن ا لله عليماحكيم
“Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang di serahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu) , kecuali jika mereka ( keluarga terbunuh ) bersedekah jika ia (si terbunuh) dari kaum yang memusuhimu, padahal ia mukmin maka (hendaklah si pembunuh) memerdekakan hamba – sahaya yang mukmin. Dan jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendak si pembunuh) membayar diat yang di serahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. Barang siapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai cara taubat kepada Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (An-Nisa’, 4: 92, )23
ولا تقتلو اا لنفس التى حرم ا لله ا لا با لحققلي
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.” (QS. Al-An’am 151) Sedangkan dari hadits Nabi saw, selain hadits diatas, juga hadits tentang keharaman membunuh orang kafir yang sudah minta suaka (mu’ahad). (HR.Bukhari).


  1. Al Qur’an Al Karim dan Terjemahannya Departemen Agama RI, Semarang: PT. Karya Toha Putra, hal:135-136
KESIMPULAN : Pada prinispnya pembunuhan secara sengaja terhadap orang yang sedang sakit berarti mendahului takdir. Allah telah menentukan batas akhir usia manusia. Dengan mempercepat kematiannya, pasien tidak mendapatkan manfaat dari ujian yang diberikan Allah Swt kepadanya, yakni berupa ketawakalan kepada-Nya Raulullah saw bersabda: “Tidaklah menimpa kepada seseorang muslim suatu musibah, baik kesulitan, sakit, kesedihan, kesusahan maupun penyakit, bahkan duri yang menusuknya, kecuali Allah menghapuskan kesalahan atau dosanya dengan musibah yang dicobakannya itu.” (HR Bukhari dan Muslim)

DAFTAR PUSTAKA
  • Utomo, Setiawan Budi. 2003,Fiqih Aktual Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer. Jakarta: Gema Insani Press;
  • Hanafiah, M.Jusuf & Amir. 2007,Amri, Etika Kedokteran & Hukum Kesehatan, Jakarta: EGC;
  • Al Qur’an Al Karim dan Terjemahannya Departemen Agama RI, Semarang: PT. Karya Toha Putra;
  • Al-Maliki, Abdurrahman. 1990,Nizham Al-‘Uqubat. Beirut : Darul Ummah;
  • Zallum, Abdul Qadim. 1998, Beberapa Problem Kontemporer dalam Pandangan Islam :
    Kloning, Transplantasi Organ Tubuh, Abortus, Bayi Tabung, Penggunaan Organ
    Tubuh Buatan, Definisi Hidup dan Mati
    . Bangil : Al Izzah;
  • Hasan,M.Ali. 1995,Masail Fiqhiyah Al- Haditsah Pada Masalah - Masalah Kontemporer Hukum Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada;
  • Ibid.
  • Imron Halimy, 1990,Euthanasia Cara Mati Terhormat Orang Modern, Solo: Ramadhanis;

Comments